Filosofi Ketupat
Filosofi Ketupat untuk Lebaran
Meski lebaran sudah lama berlalu, tapi saya pikir artikel ini masih bisa masuk di bulan Syawal ini.
Lebaran dengan ketupat merupakan tradisi turun temurun yang tak terpisahkan. Mengalahkan kue-kue untuk parsel atau hantaran, lebaran selalu diidentikkan dengan ketupat. Disertai lauk pauknya, termasuk opor.
Hidangan daging ayam yang dimasak dengan kuah santan ini memang jodoh yang tepat untuk ketupat. Rasa gurihnya santan cocok dimakan dengan irisan ketupat, yang terbuat dari beras. Namun apakah hanya karena itu?
Rupanya ada makna yang lebih dalam dari ketupat-opor daripada hanya sekedar makanan pelengkap di hari raya Idul Fitri. Ketupat dan lauknya yang berkuah santan 'terpilih' menjadi hidangan saat lebaran bukan hanya karena sekedar faktor kebetulan, dan kelezatannya. Menurut sesepuh dulu, ketupat dan lauk bersantan merupakan perlambang dari hari raya Idul Fitri. Ketupat (kupat) dipercaya merupakan kependekan dari 'ngaku lepat', sedangkan santan (santen) adalah kependekan dari 'pangapunten'.
Inilah esensi dari hari raya Idul Fitri, saling memaafkan. Walaupun banyak orang yang bilang bahwa tak perlu menunggu lebaran untuk meminta maaf, nyatanya banyak sekali kesalahan yang belum kita mintakan maaf sebelum datangnya Lebaran. Atau sebaliknya, banyak pula kesalahan yang belum kita maafkan saat Idul Fitri tiba.
Jadi, tak ada salahnya kita memanfaatkan momen ini untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Hantaran ketupat santan sebagai perlambang permintaan maaf sudah seharusnya dibalas dengan melakukan hal yang sama. Artinya, selain meminta maaf, kita juga harus bersedia memberi maaf.
"Kupat kaliyan santen
Sedaya ngaku lepat nyuwun pangapunten"
BTW, udah pada bisa bikin kupat belom nih, ibu-ibu..?! Sayang di Qatar gak ada pohon kelapa, pohon Kurma sih banyak! Bisa gak, ya?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home